BSK Samawa

Tak Ada Kerajaan Palsu di NTB

0
H. Muhamad Rum

MATARAM, DS – Kepala Bakesbangpoldagri NTB H. Muhamad Rum, menegaskan, keberadaan kerajaan palsu di Indonesia yang kini menjadi fenomena di tengah masyarakat dipastikan tidak ada di NTB.

Menurut Rum, kabar yang menyebutkan jika di NTB ada kerajaan fikif yang diketui oleh Sahrul Astrawangsa tidak bisa dipertanggung jawabkan. “Informasi itu hoak. Saya cek enggak ada kemunculan fenomena kerajaan atas nama Sahrul Astrawangsa itu,” ujar Rum menjawab wartawan melalui pesan tertulisnya, Senin (20/1).

Meski sebatas informasi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Namun Rum mengaku, munculnya berbagai kerajaan palsu di Indonesia saat ini, akan terus menjadi atensi pihaknya untuk terus dilakukan pemantauan terkait kondisi masyarakat secara intensif.

“Pastinya, apapun informasi yang berkembang akan terus kita lacak. Namun untuk NTB belum ada tanda-tanda munculnya kerajaan palsu yang kini marak diberbagai wilayah di Indonesia itu,” kata Rum.

Diketahui, ada sejumlah kerajaan fiktif yang belakangan terungkap. Di antaranya, Kerajaan Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah (Jateng), Kerajaan Jipang di Blora, Jateng, dan Kerajaan Sunda Empire di Bandung, Jawa Barat (Jabar).

Faktor Ekonomi
Dikonfirmasi terpisah, Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman mengatakan fenomena munculnya kerajaan palsu kali ini, tak lepas dari faktor ekonomi. Pencetus kerajaan-kerajaan itu menyasar masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah.

“Saya tidak tahu bagaimana merayunya, tapi yang menonjol itu kan diiming janji dapat uang. Janji seperti itu kan sangat menggiurkan apalagi bagi masyarakat pedesaan yang tidak punya pengetahuan soal kerajaan-kerajaan,” ujarnya menjawab wartawan saat berada di Mataram.

Selain itu, status kerajaan dinilai semakin menguatkan kepercayaan para pengikut. Hal ini, kata Sunyoto, tak berbeda jauh dengan fenomena penggandaan uang oleh Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Probolinggo, Jawa Timur, yang berbalut agama. Dimas memiliki pengikut cukup besar karena memiliki padepokan yang serupa pesantren.

“Dua hal ini; agama dan adat, punya legacy kuat yang tidak bisa dipertanyakan lagi. Jadi ada ikatan emosionalnya, orang akan langsung percaya sehingga mereka dengan mudah akan mengikuti,” jelas Sunyoto.

Senada, pengajar Filsafat di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Al-Makin menjelaskan kemunculan kerajaan-kerajaan palsu tak lepas dari urusan motif ekonomi.

“Terbukti pelakunya (Raja Keraton Agung Sejagat) terlilit hutang miliaran rupiah,” ucapnya, yang juga merupakan Sosiolog Agama ini.

Diberitakan sebelumnya, Raja Keraton Agung Sejagat, Toto Santoso Hadiningrat, menggadaikan tanahnya untuk membayar hutang sekitar Rp 1,5 miliar.

Al-Makin menyebut fenomena ini tak lepas dari kondisi lingkungan masyarakat yang tak stabil serta kepercayaan soal munculnya penyelamat.

“Jadi sudah lama sebetulnya, Indonesia mempunyai tradisi namanya Ratu Adil atau Mesiah. Itu semacam solusi ketika dalam kondisi tidak stabil,” jelasnya. RUL.

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan