Sinergi Bersama Wujudkan Perlindungan Anak dari Bahaya Rokok
Jakarta, DS-Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) bersama jaringan organisasi pengendalian tembakau di Indonesia mengadakan konferensi pers secara daring guna menyikapi Negara yang darurat perlindungan anak dari bahaya rokok akibat pengesahan RUU Omnibus Law Kesehatan menjadi Undang-undang Kesehatan pada tanggal 11 Juli 2023.
Sekretaris Umum LPAI, Ir. Titik Suhariyati menyampaikan bahwa masalah anak seolah tidak pernah usai. Banyak regulasi yang mengatur perlindungan anak, tetapi masalah anak juga semakin kompleks sehingga saat ini anak-anak dihadapkan pada salah satu masalah global, yaitu menjadi target marketing dari industri rokok.
“Data GYT Survey pada tahun 2019 menyebutkan anak-anak terpapar iklan dan promosi rokok dari berbagai media,” ungkapnya saat Konferensi Pers secara online, Jum’at (21/07/2023).
Menurutnya, hal ini menjadi perhatian penuh bagi pemerintah dalam membentuk regulasi khusus demi kepentingan kesehatan masyarakat. Seperti yang tertuang dalam 6 pilar transformasi kesehatan sebagaimana disampaikan Menteri Kesehatan, untuk dapat mewujudkan penduduk Negara dengan kualitas kesehatan yang baik maka perlu dilakukan upaya promotif preventif.
Akan tetapi mewujudkan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan Undang-undang Kesehatan (Omnibus Law Kesehatan) yang baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu.
“Kebijakan ini tidak menunjukkan keberpihakan untuk melindungi anak-anak generasi penerus kita. Bagaimana anak-anak kita akan menjadi generasi emas 2045 jika kebijakan pemerintah sendiri tidak mendukung tujuan/goal tersebut,” katanya.
Peneliti IISD, Ahmad Fanani RUU, mengatakan substansi Undang-undang Omnibus Law Kesehatan tidak mencerminkan esensi perlindungan kesehatan.
“Banyak pasal yang tidak menunjukan keberpihakan pada kepentingan kesehatan. Sejak Undang-undang ini masuk ke dalam Prolegnas banyak terjadi penolakan yang massif dari seluruh lapisan masyarakat terutama praktisi kesehatan dan organisasi profesi kesehatan,” ungkapnya.
Menurutnya, Banyak pihak merasa dirugikan dengan adanya pengesahan Undang-undang kesehatan ini khususnya praktisi perlindungan anak dan pengendalian tembakau di Indonesia.
Menurutnya, segala upaya pembangunan kualitas sumberdaya manusia akan mustahil jika tidak didukung dengan kualitas kesehatan.
“Dengan adanya pengesahan Undang-undang ini justru menjadi ancaman bagi tercapainya Visi Indonesia Emas 2045. Hal ini dikarenakan logika penyusunan undang-undang kesehatan sangat terbalik, pembentukan Undang-undang yang terkesan ugal-ugalan dan terburu-buru ketika menkes menginginkan transformasi kesehatan, tetapi pasal yang terkait dengan promotif preventif justru dihapus,” jelasnya
Ia mengatakan yang diatur dalam Pasal 149-152 justru melemahkan Undang-undang Kesehatan, Negara menggeser orientasinya untuk perlindungan kelompok rentan. Sehingga jika tanpa penguatan regulasi maka visi Indonesia di tahun 2045 akan menjadi hangus.
RMI Elfans Suri menyampaikan setiap manusia memiliki hak untuk menikmati standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai untuk menjalani kehidupan yang bermartabat. Hal ini tidak hanya berlaku di satu Negara tertentu melainkan seluruh Negara di dunia termasuk Indonesia.
Terkait dengan pemenuhan hak atas kesehatan, kata dia, harus sesuai dengan konsep standar kesehatan tertinggi dan tidak setengah-setengah. “Pemerintah telah meratifikasi instrument Hak Asasi Manusia tetapi tidak menjadikan dasar pertimbangan dalam membentuk perundang-undangan termasung Undang-undang Omnibus Law Kesehatan.” ujarnya
Sedangkan, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ari Budi, mengatakan remaja adalah target karena perokok remaja merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan setiap industri rokok 50 tahun terakhir. Perokok remaja adalah satu-satunya sumber perokok pengganti.
“Jika para remaja tidak merokok maka industri akan bangkrut sebagaimana sebuah masyarakat yang tidak melahirkan generasi penerus akan punah. Mengingat proporsi umur pertama kali merokok pada penduduk umur kurang dari 10 tahun,” ujarnya
Menurutnya, sebagian anak mulai merokok saat usia SD-SMA dengan harga rokok yang relatif murah dan terjangkau oleh anak. Anak-anak dapat membeli rokok satuan/ketengan dengan kemudahan iklan yang dapat ditemukan oleh anak-anak.
Ia menyampaikan apabila apabila pemerintah tidak melakukan intervensi yang mendukung control terhadap produk tembakau, maka pada tahun 2030 diperkirakan angka porevalensi perokok pemula akan meningkat menjadi 16%.
“Indonesia merupakan Negara dengan perokok muda tertinggi di dunia dan belum ada tanda-tanda mengalami penurunan di masa mendatang,” tuturnya.
Ari Budi juga memaparkan bahwa berkaitan dengan iklan promosi dan sponsorship rokok, sebelumnya RAYA Indonesia telah melakukan pengamatan secara berkala yang kemudian dikemas dalam bentuk Laporan Monitoring Iklan Rokok di Internet. Hasil pengamatan tersebut telah ditemukan fakta bahwa iklan rokok khususnya di internet dapat diakses kapanpun dan dimanapun tanpa batasan apapun dan mudah ditemukan di perangkat seluler setiap orang.
“Dan jika melihat kondisi anak-anak saat ini yang banyak menghabiskan waktunya dengan gadget kemudian kemudahan akses yang diberikan juga membuka peluang bagi anak-anak untuk terkena paparan iklan rokok,” cetusnya.
Sementara itu, Perwakilan Social Media Specialist Raya Indonesia, Fiki Zulfaidah, menyampaikan bahwa pengaruh dari iklan promosi dan sponsorship rokok telah memberikan peluang besar bagi anak-anak untuk menjadi perokok pemula.
“Pasalhnya penyebaran iklan, promosi dan sponsor rokok di berbagai media menjadi pintu gerbang utama bagi anak-anak untuk mencoba dan dengan mudahnya terpengaruh, dari yang tidak tahun menjadi tahu, dan dari yang tidak ingin mencoba menjadi ingin mencoba, karena konsep dari iklan adalah memasarkan barang yang sebelumnya belum diketahui oleh konsumennya,” tambahnya.
Perwakilan Youth Engagement And Digital Media Komnas PT, Sarah Mutiah mengatakan bahwa rokok membahayakan kesehatan sehingga dibutuhkan Informasi yang jelas, benar, dan bisa dipahami.
“Masyarakat adalah hak asasi yang dilindungi oleh undang-undang maka perlu diterapkan PHW (pictorial helath warning) dengan tujuan mengomunikasikan efek bahaya dari penggunaan tembakau, membatasi atau melarang penggunaan logo, warna, dan brand image atau informasi promosi pada kemasan produk tembakau,” ujarnya
Menurutnya, komunikasi yang efektif dari biaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menginformasikan bahaya konsumsi produk tembakau khususnya kepada masyarakat dengan literasi rendah.md
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.