Polemik Perubahan Nama Bandara Memanas AMB Desak Tinjau Ulang SK, Isvie Bantah Perubahan Atas Persetujuan DPRD
MATARAM, DS – Puluhan warga masyarakat Lombok Tengah yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Lombok (AMB) mengelar dengar pendapat (hearing) dengan DPRD NTB, Rabu (12/9), terkait perubahan nama Bandara Internasional Lombok (BIL) menjadi Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid.
AMB menilai perubahan nama bandara itu telah menyakiti warga Lombok Tengah. Sebab, Pemprov NTB dibawah kepemimpinan Gubernur Dr. TGH. Muhamad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) sama sekali tidak melibatkan masyarakat maupun pemda Loteng.
Padahal, saat pembangunan bandara itu, masyarakat setempat telah banyak berkorban terkait murahnya tanah yang mereka dijual untuk menyukseskan keberadaan bandara terbesar di NTB tersebut.
“Wajarlah, sekarang ini kami teriak. Ini karena sikap Gubernur NTB yang terkesan memaksakan kehendak mengganti seenaknya nama bandara di tanah milik kami tanpa sekalipun mengajak bicara masyarakat yang punya tanah serta pemda Loteng,” ujar Ketua AMB, Lalu Hizzi saat memulai hearing itu.
Menurut dia, pada tahun 2005 lalu, ia sempat bertemu langsung dengan TGB di Jakarta terkait rencana pembangunan BIL itu. Namun waktu itu, TGB sempat tidak setuju jika di lokasi saat ini, yakni di Tanak Awu, Kecamatan Pujut dijadikan lokasi pembangunan bandara.
“Saya siap bersaksi atas pernyataan TGB waktu itu. Bila perlu pimpinan DPRD menghadirkan pak TGB terkait pernyataan siapa yang benar itu, karena pas ketemu dengan TGB saya didampingi sejumlah kawan-kawan pergerakan,” tegas Hizzi.
Dalam kesempatan itu, Ketua DPD KNPI Loteng itu juga menyesalkan adanya surat persetujuan DPRD NTB terkait perubahan nama bandara yang menjadi rujukan Kementerian Perhubungan, sehingga menyetujui perubahan nama bandara itu. Padahal, jika merujuk aturan, seharusnya persetujuan lembaga dewan harus dilakukan melalui mekanisme sidang paripurna DPRD.
“Ini yang tidak bisa kami toleransi, kenapa lembaga dewan yang harusnya menjadi lembaga bermartabat dan membela kepentingan rakyat malah ikut-ikutan membuat persetujuan dukungan terkait perubahan nama bandara yang jelas menghegomoni kekuasaan TGB itu,” ungkap Hizzi.
“Tolong jika ada risalah sidang persetujuan perubahan nama bandara itu kami diperlihatkan. Sebabnya, masyarakat di tingkat bawah sudah tidak lagi berfikir apapun karena bawaanya sudah marah yang levelnya cukup tinggi saat ini,” tambahnya.
Di tempat sama, H. NS Badrun Nadianto selaku tokoh masyarakat Selatan Lombok Tengah mengatakan, seluruh masyarakat di wilayahnya tetap menghendaki nama Bandara Internasional Lombok (BIL) atau Lombok Internasional Airport (LIA) agar tetap dipertahankan tanpa harus melakukan upaya perubahan nama bandara menjadi nama pahlawan asal NTB.
Pasalnya masih banyak ulama besar asal Pulau Lombok yang juga berjasa dan berjuang di era kemerdekaan bangsa Indonesia sebelumnya diantaranya, TGH. Ali Batu, TGH. Bangkol dan TGH. Saleh Hambali.
“Kalau mau rasional banyak ulama kita juga yang turut berjuang pada saat era penjajahan tapi nama mereka tidak diusulkan menjadi pahlawan nasional dari NTB, sehingga tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Maulanasyekh Zainuddin Abdul Madjid, kami tidak ikhlas nama beliau dicantumkan pada nama bandara karena tidak etis nama ulama besar dicantumkan pada bandara internasional,” tandas Bandrun.
Menjawab hal itu, Ketua DPRD NTB, Hj. Baiq Isvie Rupaedah MH, mengaku, berkomitmen tidak menghendaki konflik dua pemerintah, yakni pemkab Lombok Tengah dan pemprov NTB terus berlanjut. Oleh karena itu, pihaknya berencana menemui Gubernur Dr. TGH. Muhamad Zainul Majdi serta Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di Jakarta guna membicarakan perubahan SK penetapan nama bandara itu agar bisa ditunjau ulang.
“Yang pasti, kalau ada persetujuan DPRD itu saya nyatakan itu tidak ada, karena yang ada adalah surat dukungan dari 4 pimpinan DPRD NTB guna menghormati keinginan Gubernur NTB yang mengusulkan perubahan nama bandara itu,” jelasnya.
Isvie mengatakan, pertemuan kali ini adalah upaya DPRD NTB untuk menggali informasi dari masyarakat agar konflik horinzontal bisa dicegah. Menurut dia, dukungan lembaga DPRD tidak perlu adanya persetujuan anggota DPRD, lantaran itu hak pimpinan DPRD atas adanya permintaan Gubernur.
“Kalau friksi ini terus terjadi, sangat mengkhawatirkan bagi kondusifitas NTB. Saya mengakui, kalau ada kekeliruan prosedur dari kami, sehingga ini akan jadi bahan untuk kita komunikasikan ke Kementerian Perhubungan untuk mencegah tetesan darah itu terus berlanjut di kemudian hari,” tandas Isvie Rupaedah. RUL.