Pikada 2024 Rawan Lahirkan Penyakit “Post Power Syndrome”

FOTO. Kepala Divisi Litbang Mi6 Zainul Pahmi bersama Direktur Bambang Mei Firnawanto dan Lalu Athari Fatullah saat memberikan keterangan pada wartawan. (FOTO. RUL/DS).
 
MATARAM, DS – Kontestasi politik serentak tahun 2024 rawan melahirkan mantan pejabat dan politisi terkena penyakit Post Power Syndrome (PPS) akut.

Selain ketatnya persaingan dalam kontestasi, PPS bisa disebabkan pula oleh terjerembabnya harapan yang melampui ekspektasi para pejabat dan politisi yang berbanding terbalik dengan realitas politik yang terjadi.
 
“Akan ada masa jeda bagi para petahana, setidaknya selama setahun. Itu sebabnya, konstelasi politik tahun 2024 rawan terjadi pergeseran dukungan,” ujar Direktur Lembaga Kajian Sosial dan Politik Mi6 Bambang Mei Finarwanto di Mataram, Selasa (14/9)
 
Didu, sapaan akrab Bambang Mei memberi gambaran. Pilkada serentak baru akan digelar pada 27 November 2024. Sementara sejumlah kepala daerah yang saat ini sedang menjabat, akan mengakhiri jabatannya jauh sebelum pilkada digelar.

Gubernur NTB H Zulkieflimansyah dan Wakil Gubernur Hj Sitti Rohmi Djalilah misalnya, akan mengakhiri masa jabatan pada 19 September 2023. Begitu pula sejumlah bupati dan wali kota beberapa daerah di NTB.
 
Konsekuensi dari pengaturan ini maka NTB selama lebih dari setahun akan dipimpin oleh Penjabat Gubernur yang ditunjuk Pemerintah Pusat. Sementara beberapa kabupaten/kota akan dipimpin Penjabat Bupati dan Penjabat Wali Kota yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri atas usulan Gubernur.
 
“Tentu, dari sisi sosial dan politik, hal ini akan berdampak kepada petahana yang akan tampil lagi untuk periode kedua. Terlebih, paska purna tugas tersebut, petahana akan dianggap tidak menjadi pengendali kuasa,” kata Didu. 
 
Di sisi lain, meski Pilkada 2024 masih tiga tahun lagi, tapi saat ini sudah ada fenomena yang masif dengan langkah sejumlah figur yang mulai mem-branding diri. Mencitrakan kapasitas dan performance yang good looking dan perfect. Khalayak tentu akan dengan mudah mengaitkan hal tersebut dengan kontestasi politik tahun 2024.
 
“Dari sisi politik dan regenerasi kepemimpinan, munculnya tokoh-tokoh ini patut diapresiasi karena sejak awal sudah mau memperkenalkan diri agar publik bisa mentracing rekam jejak sejak awal,” ujar mantan Eksekutif Daerah WALHI NTB dua periode ini.
 
Karena itu, besar kemungkinan, kontestasi politik pada tahun 2024 akan diramaikan banyak kandidat untuk tampil berebut amanah masyarakat. Ketiadaan petahana yang masih menjabat saat pilkada digelar, juga bisa jadi memberi ruang kontestasi yang lebih terbuka karena tidak ada kandidat yang dicitrakan lebih dominan dibanding kandidat lainnya.
 
Namun begitu, di tengah banyaknya figur-figur yang akan menjadi penantang para petahana dalam kontestasi politik 2024, yang tidak boleh dilupakan, kata Didu, tentu saja karakteristik pemilik di NTB. Dia mengibaratkan para pemilih di NTB disinyalir cenderung “cepat lupa”.
 
Didu memberi contoh bagaimana dalam pemilihan anggota legislatif tahun 2019, banyak petahana yang bertumbangan. Di DPRD NTB misalnya, dari 65 orang anggota DPRD NTB sebelumnya, hanya 14 orang yang berhasil melenggang kembali. Itu artinya, lebih dari 75 persen petahana tidak terpilih kembali. Padahal, mereka, selama lima tahun menjabat, sudah melakukan yang terbaik untuk konstituennya, termasuk menggelontorkan dana-dana aspirasi.
 
Karena itu, dengan karakter pemilih yang “cepat lupa” seperti itu, Mi6 meyakini, bukan tidak mungkin kontestasi politik 2024 akan melahirkan banyak mantan kepala daerah, pejabat, dan politisi yang terkena penyakit PPS Akut.
 
“Dalam situasi seperti itu, Trauma Healing Center untuk mantan kepala daerah, pejabat, dan politisi akan menjadi sebuah kebutuhan di daerah. Penting bagi pemerintah untuk menyiapkan hal ini semenjak dini,” kata Didu menyarankan.
 
Beri Konseling
 
Kepala Divisi Litbang Mi6 Zainul Pahmi menekankan, penyiapan Trauma Healing Center ini sedari awal juga bisa menjadi upaya pencegahan agar calon pemimpin yang ikut konstestasi tahun 2024 sejak dini diberikan konseling. Terutama bagi para pendatang baru agar siap dengan risiko politik ketika mengikuti ajang pemilihan.
 
“Syndrom demam panggung oleh pendatang baru bermula pada kuatnya keyakinan akan keterpilihannya dengan mengabaikan investasi sosial dan politik sebelumnya,” kata Fahmi.
 
Dan manakala harapan tidak sesuai kenyataan, Fahmi menegaskan, hal tersebut kemudian menjadi awal post power syndrom. 
 
Fahmi melanjutnya, guna mencegah berjangkitnya fenomena PPS paska kontestasi, perlu ada pencerahan dan strategi untuk mengantisipasi hal tersebut untuk menjaga citra dan martabat sistem demokrasi itu sendiri.
 
Hal senada diungkapkan Sekretaris Mi6 Lalu Athari Fathullah. Dia menegaskan, meski PPS tidak termasuk pada penyakit kejiwaan yang tergolong serius, penting bagi pemerintah menyiapkan dan memiliki fasilitas trauma healing bagi para mantan kepala daerah, pejabat, dan politisi.
 
“Ini juga bagian dari upaya menjaga marwah demokrasi,” tandasnya.
 
Kelak kalau sudah terbentuk, Trauma Healing Center itu kata Athar, bisa melakukan kegiatan yang memberikan pencerahan maupun strategi mengantisipasi atau meminimalkan PPS secara personal maupun kolektif. RUL.

Facebook Comments Box

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.