NTB Belajar Kelola Sampah di Bantargebang

0
Kepala TPST Bantargebang Rizky Febriyanto (kanan) saat menyerahkan cindramata pada Karo Humas Pemprov NTB Najamuddin Amy

JAKARTA, DS – Mendengar sampah, maka kesan yang ada adalah sesuatu yang tidak lagi berguna, berbau busuk, sumber penyakit, penyebab banjir, dan menjijikan. Khusus bagi masyarakat perkotaan, acap kali sampah yang ada merupakan tumpukan yang menyumbat selokan atau drainase. Namun, sebaliknya sampah juga bisa menjadi berkah, asalkan pengelolaanya dilakukan dengan baik serta tahu bagaimana harus mengolahnya.

Di tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Bantargebang milik pemprov DKI Jakarta, sampah yang diproduksi warga Jakarta mencapai 7.500-8.000 ton perharinya. Ada yang sudah bisa diolah menjadi kompos maupun menjadi energi listrik.

“Memodifikasi program pengelolaan sampah yang betul-betul dikelola dengan teknologi dan hal tersebut ada di TPST Bantargebang dengan segala kompleksitas persoalannya. Inilah dasar kami perlu belajar terkait pengelolaan sampah untuk bisa diadopsi di NTB,” ujar Kepala Biro Humas dan Protokol Setda NTB, Najamuddin Amy, saat menyampaikan sambutanya disela-sela memimpin press trip belasan wartawan Parlemen ke TPST Bantargebang, Bekasi, provinsi Jawa Barat, Rabu (24/4) malam.

Najam mengatakan Pemprov di bawah kepemimpinan Gubernur Zulkieflimansyah dan Wagub Sitti Rohmi Djalilah telah mencanangkan NTB yang bebas sampah atau zero waste sebagai salah satu program unggulan.

Selain menggencarkan program bank sampah di tiap desa, NTB juga ingin mengambil pelajaran dari Pemprov DKI Jakarta yang sudah jauh lebih berpengalaman dalam pengelolaan sampah. Menurut dia, banyak kekhawatiran dan nada pesimistis dari masyarakat tentang program bebas sampah yang dicanangkan Pemprov NTB.

Namun, kata Najam, cara menjawab keraguan masyarakat dengan belajar, mengadopsi, dan memodifikasi program pengelolaan sampah dengan teknologi dan hal tersebut ada di TPST Bantargebang dengan segala kompleksitas persoalannya.

“Betul apa yang dikatakan pak Gubernur (NTB) dan ibu Wagub, apabila sampai dikelola dengan baik bisa menjadi berkah, ramai kalau tidak bisa (dikelola) akan menjadi bencana dan sumber penyakit,” kata Najamuddin.

Mantan Komisioner Komisi Informasi (KI) NTB itu menjelaskan, total sampah di NTB mencapai 3,388,76 ton perhari yang tersebar di 10 kabupaten/kota. Meski demikian, hanya 631,92 ton dari jumlah tersebut yang sampai ke 10 tempat pembuangan akhir (TPA) perharinya.

“Jadi, masih banyak sampah yang tidak sampai ke TPA atau tidak terkelola dan beredar di sekitar masyarakat mencapai 2,695,63 ton atau 80 persen. Sedangkan sampah yang berhasil di daur ulang baru sebesar 51,21 ton perhari,” jelas Najam.

Najamuddin mengatakan produksi sampah terbesar berada di Kabupaten Lombok Timur sebanyak 801,74 ton per hari, di mana hanya 15,40 ton saja yang sampai ke TPA, sementara 786,26 atau 98 persen tidak sampai ke TPA atau tidak terkelola dengan baik.

Selanjutnya, Kabupaten Lombok Tengah berada pada peringkat kedua dengan 645,73 ton sampah per hari, di mana hanya 12,25 persen yang ke TPA, sedangkan 627,64 ton sampah atau 97 persen tidak sampai ke TPA.

“Khusus, Kota Mataram selaku ibu kota NTB, produksi sampahnya mencapai 314,30 ton sampah perhari dengan 273 ton yang sampai ke TPA dan 15,71 ton didaur ulang. Itu artinya, hanya 15,59 ton sampah atau 5 persen yang belum dikelola dengan baik,” tegasnya. “Yang tidak sampai ke TPA menjadi sumber penyakit karena beredar di tengah kita (masyarakat),” sambung Najamuddin.

Ia mengakui belum maksimalnya pengelolaan sampah lantaran kurangnya SDM dan juga alat pengangkut sampah dari TPS menuju TPA. Mengenai jumlah TPA, kata Najamuddin, sejatinya masih cukup.

Sebanyak 10 kabupaten dan kota di NTB memiliki TPA dengan rincian TPA Kebon Kongok seluas 8,41 hektare untuk Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat, TPA Pengengat di Lombok Tengah seluas 10 hektare, TPA Ijo Balit di Lombok Timur seluas 8 hektare, TPA Jugil di Lombok Utara seluas 8 hektare, TPA Oi Mbo di Kota Bima seluas 7 hektare, TPAWaduwani di Kabupaten Bima dengan luas 7 hektare, TPA Lune di Dompu seluas 9, dan TPA Batu Putih di Sumbawa Barat seluas 5 hektare. Sementara Kabupaten Sumbawa memiliki dua TPA yakni TPA Raberas seluas 6 hektare dan TPA Lekong seluas 9 persen.

Najamuddin menilai NTB masih memiliki cukup waktu untuk berbenah dalam hal pengelolaan sampah. Pasalnya, jumlah sampah NTB belum sebanyak yang diterima Jakarta. Meski hal tersebut juga relatif tidak sepadan mengingat NTB dan Jakarta merupakan dua wilayah yang berbeda, baik dari segi jumlah penduduk, geografis wilayah, hingga kekuatan anggaran.

“NTB dapat mengambil pelajaran dari Jakarta yang mampu mengelola sampah dalam jumlah besar dengan memanfaatkan teknologi. Ini momentum bagi NTB, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang tidak mungkin, belum terlambat untuk NTB karena sampah kita belum sebesar DKI (Jakarta),” tandas Najamuddin.

Sementara itu, Kepala Satuan Pelaksana Energi Terbarukan, Komposting, dan 3 R, serta Pemrosesan Akhir Sampah, Dinas Lingkungan Hidup, Pemprov DKI Jakarta, Rizky Febriyanto, mengatakan TPST Bantargebang sudah ada sejak 1989, hasil investasi perusahaan swasta dengan nilai investasi sekira Rp 700 miliar untuk pengelolaan sampah secara keseluruhan. Sempat gonta-ganti kepemilikan oleh swasta dan Pemprov DKI, hingga akhirnya, pada 2016 dimiliki Pemprov DKI Jakarta.

Secara administratif, TPST Bantargebang berada di Kelurahan Ciketing Udik, Sumur Batu, dan Cikiwul, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, provinsi Jawa Barat. Meskipun terletak di Kota Bekasi, namun status tanah dimiliki Pemprov DKI Jakarta.

Rizky menyampaikan TPST Bantargebang memiliki luas total mencapai 110,3 hektar. Dari luas total tersebut, 81,91 persen difungsikan aktif sebagai tempat pembuangan sampah yang terbagi menjadi lima zona lahan urug sanitar. Sementara sisanya yang sebesar 19,09 persen digunakan untuk sarana lainnya, seperti akses masuk, jalan ke kantor, dan instalasi pengolahan lindi.

Rizky menambahkan, TPST Bantargebang melakukan berbagai program, mulai dari sistem pengolahan sampah, sistem penimbangan dampah daring, komposting, pembangkit listrik tenaga sampah atau power house, instalasi pengolahan air sampah, pencucian kendaraan angkutan sampah, hingga penghijauan.

“Sampah yang diproduksi warga Jakarta yang dibawa ke TPST Bantargebang saat ini sekitar 7 ribu sampai 8 ribu ton sampah per hari,” ujar Rizky.

Dalam pengelolaan sampah. Menurut dia, TPST Bantargebang membatasi ketinggian landfil atau timbunan sampah, tidak lebih dari 40 meter guna mengantisipasi terjadinya longsor.

Pemprov DKI Jakarta memperkirakan kandungan sampah di Bantargebang sebanyak 39 juta ton dengan gunungan tertinggi mencapai 40 meter. Kapasitas TPST Bantargebang sendiri diperkirakan memuat sebesar 49 juta ton. Dengan sisa 10 juta ton, TPST Bantargebang diprediksi akan mengalami titik puncak pada 2021.

“Daya tampung Bantargebang akan maksimal pada 2021, tiga tahun lagi tidak mampu tampung lagi sampah warga Jakarta,” ucap Rizky.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemprov DKI sudah memiliki rencana membangun fasilitas pengolahan sampah di dalam kota atau Intermediate Treatment Facility (ITF) di sejumlah wilayah di Jakarta, salah satunya di Sunter, Jakarta Utara. Rizky menyampaikan fasilitas mengolah sampah dengan mengubahnya menjadi listrik ini ditargetkan rampung pada 2021. Nantinya, ITF di Sunter diprediksi akan mampu mengolah sampah 2.200 ton per hari.

“Dengan adanya fasilitas pengolahan sampah di dalam kota, diharapkan sampah yang dikirim ke Bantargebang tidak lagi 7 ribu sampai 8 ribu ton per hari,” kata Rizky.

TPST Bantargebang juga memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang merupakan proyek percontohan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Rizky menyampaikan sementara mengolah sampah seperti PLTSa yang mengubah sampah menjadi sumber listrik memang baru mampu mengolah 100 ton perhari.

“Ini jadi model bagi provinsi lain untuk membangun, diinisiasi BPPT. Listrik kita pakai sendiri karena bukan untuk konsumsi,” ungkap Rizky.

Alokasi anggaran menjadi krusial dalam isu pengelolaan sampah suatu daerah. Namun sayangnya, Rizky menilai, pengelolaan sampah belum menjadi skala prioritas secara umum di Indonesia.

“Anggaran (pengelolaan sampah) menjadi bukan prioritas seperti dianaktirikan, yang diutamakan selalu infrastruktur dalam kota, padahal cantiknya pusat kota, belum tentu rapi di hilir,” kata Rizky.

Rizky tidak menampik biaya tinggi yang dibutuhkan dalam pengelolaan sampah. Rizky mengatakan Pemprov DKI Jakarta menggelontorkan dana sebesar Rp 400 miliar per tahun kepada pihak swasta yang kala itu masih mengelola TPST Bantargebang. Namun setelah diambil alih Pemprov DKI Jakarta, alokasi anggaran mampu ditekan hingga sebesar Rp 300 miliar yang dikucurkan kepada UPT TPST Bantargebang.

Kata Rizky, alokasi anggaran selalu meningkat setiap tahunnya mengingat kebutuhan sarana pendukung seperti alat berat. Sementara Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, lanjut Rizky, mendapatkan alokasi anggaran sekira Rp 3 triliun dari APBD untuk mengelola lingkungan di Jakarta.

“Kami kerap mengadu ke Kementerian PU dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan soal kesulitan anggaran karena sering ditolak lantaran dinilai high cost,” ucap Rizky.

Ia menambahkan, pengelolaan sampah akan terus menjadi masalah kalau sistemnya masih landfill dengan memindahkan sampah dari TPS ke TPA. “Kondisi tersebut hanya akan membuat lebih banyak gunungan sampah yang berpotensi longsor dan kebakaran,” tandas Rizky Febriyanto. RUL.

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan