Memperkuat Lembaga Perkawinan, Museum NTB Gelar Diskusi Etika Perkawinan Adat Sasak

Mataram,DS-Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan menambah informasi untuk memperkuatkan budaya di NTB, museum setempat menggelar diskusi bertema “Mengenal Etika Perkawinan Adat Sasak” pada Rabu (31/05/2023). Acara berlangsung di Aula Samalas.

Kegiatan ini merupakan upaya Museum NTB untuk menambah wawasan dan informasi data koleksi hidup. Selain itu, sebagai sarana mengurangi stunting di NTB.

Kepala Museum NTB, Ahmad Nur Alam, S.H., M.H, menyampaikan bahwa diskusi ini merupakan bagian dari program strategis Pemerintah NTB menurunkan angka stunting.

Menurutnya, stunting yang terjadi di masyarakat NTB, salah satu faktornya terkait dengan perkawinan usia muda dan tidak terencana.

“Mudah-mudahan dalam diskusi ini kita bisa memberikan gambaran kebudayaan yang dapat menjadi solusi persoalan bangsa, ” katanya

Ia mengatakan, museum juga perlu melihat apa yang terjadi di masyarakat. Karena, dialektika dalam masyarakat ada distorsinya. Seiring dengan waktu, kata dia, pasti ada penyesuaian terhadap etika, proses, kegiatan pergaulan masyarakat dalam mengekspresikan adat istiadat.

Diskusi diharapkan bisa melihat proses kehidupan masyarakat dan upaya untuk mengembalikan kebudayaan kepada awalnya.

“Kita juga harus melihat bagaimana fenomena yang terjadi di masyarakat. Sehingga kita bisa meluruskan, bagaimana sebenarnya ragam etika yang harusnya menjadi rujukan, ” ungkapnya

Ia menambahkan, perubahan ini tidak terlepas dari arus globalisasi. Karena itu, untuk melawan arus global harus kembali kepada nilai-nilai lokal NTB.

“Saya berharap usaha kita yang kecil ini bisa memberikan gambaran baru terkait dengan proses kehidupan kita sehari hari, ” harapnya.

Sementara itu, narasumber pertama, M. Ahyar Fadly, M.Si, dalam materinya menyampaikan bahwa ada 5 bentuk perkawinan yang dikenal oleh masyarakat Sasak, yaitu, perondongan/perjodohah, mepade/melamar, selarian/merariq, naikin, dan ngegantung/kawin gantung.

Menurutnya, kelima aspek inilah yang menjadi etika perkawinan yang dimiliki oleh suku Sasak. Namun dalam proses merariq, dikatakan bukan merupakan kontruksi asli masyarakat Sasak, melainkan pengaruh dari Kerajaan Karangasam (Bali). Tetapi ada etika yang mengatur tentang tahapan merarik ini.

“Saya lebih fokus pada etika atau tahapan dalam proses merariq yaitu midang, ” ungkapnya.

Dijelaskan, midang tujuannya sangat mulia yaitu untuk mencari bibit, bebet dan bobot.

“Artinya, dalam proses midang mereka ingin mengetahui asal usul keturunannya apakah ada kecocokan antara pasangan laki-laki dan perempuan, ” katanya.

Narasumber Kedua, Lalu Sadarudin, S.Pd,(Budayawan), menyampaikan bahwa jika diteliti soal etika, dan diartikan dalam adat sasak etika itu merupakan sopan santun. Yang dimana etika ini mengatur tentang cara tutur dan tingkah laku masyarakat.

“Jadi berbicara tentang etika itu ada dua yang terkait dengan etika ini, pertama adalah tutur kata kita dan yang kedua adalah tingkah laku kita. Sehingga etika ini tidak terlepas dari nilai-nilai agama, ” jelasnya.

Ia mengatakan, etika perkawinan suku sasak mengandung nilai agama yang mengatur tentang tata cara perkawinan.

Adapun jumlah peserta yang hadir dalam diskusi sekira 25 orang yang terdiri dari tokoh masyarakat, akademisi, perangkat desa/kelurahan, serta guru SMP dan SMA, budayawan dan funsional yang ada di museum NTB.md

Facebook Comments Box

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.