Akhiri Eksploitasi Joki Anak di Bima

Ketua LPA NTB, H.Sahan, SH

H.Sahan, SH (Ketua LPA NTB)

Seorang Joki cilik anak usia 6 tahun berinisial MA, meninggal dunia di Bima, Nusa Tenggara Barat setelah terjatuh dari punggung kuda yang ditungganginya saat latihan pada Rabu (9/3/2022). Sebelumnya, peristiwa serupa juga terjadi pada Oktober 2019 ketika joki anak meninggal dunia saat mengikuti lomba. Bahkan, beberapa joki lainnya mengalami luka dan kecacatan.

Fakta itu menempatkan anak dalam situasi yang terus terancam. Mereka tidak memiliki jaminan kesehatan pada saat latihan dan perlombaan pun. Disisi lain layanan medis tidak memadai kecuali hanya sebuah mobil ambulance yang terbatas sarananya.

Masalah tersebut bukan saja keselamatan jiwa, juga terkait hak pendidikan dan kesejahteraan anak. Kerap kali joki anak, meninggalkan sekolah waktu latihan dan perlombaan.

Kondisi ekonomi dan sosial juga tidak menunjukan perubahan dalam diri anak. Setelah tidak menjadi joki, mereka menjalin kehidupan seperti memberi makan kuda-kuda pacuan, membawa benhur (cidomo), dan setelah dewasa dan menikah, beberapa mantan joki anak meneruskan kelihaian kepada anak-anak mereka. Sehingga, usai menjadi joki, mereka justru meredup, tidak memiliki masa depan.

Siklus demikian tentu harus diakhiri dan segera direspon serius oleh semua pihak, baik Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, organisasi Pordasi, maupun lembaga lain terkait, serta organisasi masyarakat, masyarakat luas dan orangtua.

Eksploitasi Anak

Ketentuan UU No.23 Tahun 2002 dan perubahan pada UU No. 35 tahun 2014 (UU Perlindungan Anak), telah menggariskan ketentuan tentang perbuatan eksploitasi anak sebagai perbuatan dilarang yang ditentukan sebagai tindak pidana (delik).

Pasal 76I mengatur perbuatan eksploitasi anak mencakup eksploitasi ekonomi dan/atau ekonomi, menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak”.

Perbuatan tersebut, mendapatkan ancaman pidana sebagaimana diatur Pasal 88 bahwa perbuatan eksploitasi anak disanksi dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Berdasarkan ketentuan di atas maka aktivitas joki anak merupakan bentuk eksploitasi anak dalam lingkup ekonomi. Penegasan pada penjelasan Pasal 66 dapat ditelusuri lebih lanjut, menyatakan dieksploitasi secara ekonomi” adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan Anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) pada tahun 2019 juga telah memberikan petunjuk melalui buku pedoman “Terminologi Perlindungan Anak dari Eksploitasi”. Dari catatan penting KPPA, pemaknaan eksploitasi anak adalah upaya mengambil keuntungan dari orang lain atau memperoleh keuntungan untuk diri sendiri melalui produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa dengan cara mencakup situasi manipulasi, penyalahgunaan, pelecehan, viktimisasi, penindasan, atau perlakuan buruk terhadap anak.

Perlindungan Anak

UU Perlindungan Anak menegaskan bahwa negara menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Hal itu mempertimbagngkan bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

Berpijak pada pemikiran demikian, UU Perlindungan Anak memberikan kewajiban dan tanggungjawab kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya dalam menyelenggarakan perlindungan anak

Tidak hanya itu, masyarakat memiliki kewajiban terhadap Perlindungan Anak yang dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak. Hal itu dilaksanakan dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan, akademisi, dan pemerhati anak.

Dalam lingkup eksploitasi anak, UU Perlindungan Anak menentukan perlindungan khusus. Untuk itu, Pemerintah, pemerintah daerah dan lembaga negara lainnya berkewajiban serta bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak.

Tida Ada Aturan Teknis

Keberadaan joki anak pada setiap kejadian selalu menjadi sorotan publik, Namun, sampai hari ini tidak ada aturan teknis dan tata cara penyelenggaraannya. Bahkan, rekomendasi usai kejadian tahun 2019 menguap. Tidak ada penghentian.

Pihak Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (Pordasi) sebagai penyelenggara pun tak kunjung merealisasikan janjinya memperketat pelaksanaan melalui aturan. Pihak Pemda Bima pun, tidak melakukan upaya serius dalam menanggapi joki anak.

Rekomendasi

Berdasarkan catatan di atas, maka dalam menghadapi joki anak, Lembaga Pelrindungan Anak memberikan rekomendasi:
1. Menghentikan penggunaan joki anak dalam pacuan kuda;
2. Mendorong keseriusan Pemerintah Daerah Provinsi NTB, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pordasi dalam penyelenggaraan pacuan kuda di Bima;
3. Mendorong peran masyarakat, LSM, dan seluruh elemen dalam pelaksanaan pacuan kuda.
4. Mendororong Pemerintah Pusat untuk mengatur pedoman dalam pelaksanaan olahraga berkuda di wilayah NTB;
5. Mendorong keterlibatan Pordasi Pusat dalam mengawasi pelaksanaan olahraga berkuda di wilayah NTB;
6. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Anak yang dieksploitasi anak;
7. Melaksanakan pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi;
8. Pelibatan berbagai pihak, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan Masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap Anak secara ekonomi;

Facebook Comments Box

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.