Ali BD, Sasak dalam Perubahan
Di Kanwil Depdikbud NTB menjelang Pemilu dimasa lalu, seluruh anggota Korpri melakukan simulasi pencoblosan. Terdapat tiga kontestan yaitu Golkar, PPP dan PDI. Simulasi diarahkan pada pencoblosan yang “benar”, yaitu terlubanginya kertas gambar Partai Golkar oleh seluruh anggota Korpri. Hasilnya? Terdapat satu kertas suara menandai PPP. Siapa pelakunya? Para anggota Korpri lingkungan kantor itu sudah bisa menduga, Ali BD. Di hadapan yang lain Ali mengakuinya terang-terangan. Lantas apa salahnya?
Kala itu keputusan Ali adalah kontroversial dan dinilai salah karena tidak mengikuti arus atasan. Kebenaran saat itu ada di tangan para petinggi, tidak pada Undang-undang tertinggi. Undang-undang dianggap tulisan remeh temeh di atas kertas. Bagi Ali, amanah UU itu justru harus diimplementasikan. Dia tidak takut, tidak gentar karena ini kebenaran walau berada di luar doktrin Pemerintah Pusat.
Ali terus memajang tanda gambar PPP di kediamannya bukan karena ingin berbeda, melainkan agar apa yang diamanatkan Undang-undang tentang kebebasan berserikat dan berkumpul dijalankan sebagai hak warga negara. Sebagai pegawai biasa tidak mudah bagi Ali melawan intimidasi atasannya, Enjo Sutardja. Demikian halnya dengan seluruh pegawai yang mengamini sang majikan birokrasi dengan kepatuhan tanpa batas.
Akibatnya, Ali dikucilkan di lingkungan kerjanya. Bahkan, ketika harus ke kantin disaat jam istirahat makan, jika pegawai menjumpai ada Ali BD di sana, semua pada balik kanan bubar jalan. Pegawai takut kedapatan duduk bersamanya karena khawatir dianggap pengikutnya. Ali BD tak perlu bertanya mengapa terjadi begitu? Ia pun tidak mengomentari lebih jauh karena logika berfikir rekan kerjanya sudah ditumbuhi virus ketakutan.
Hanya saja, di lain sisi Ali BD merasa kehadirannya mengganggu yang lain. Tidak mungkinlah pegawai biasa seperti dirinya bisa melawan seisi kantor.
Setelah sempat berargumen dengan atasannya dengan menjelaskan seluruh aturan perundang-undangan, Ali BD mengundurkan diri dari kursi PNS. Ia kemudian mendirikan Kantor Yayasan Swadaya Membangun berhadapan dengan Kanwil Depdikbud NTB. Lewat lembaga LSM itulah segala ide dan gagasannya dalam bidang kemanusiaan berjalan.
Anehnya, berada di luar gelanggang pemerintahan, setiap gerak-geriknya dicurigai. Termasuk ketika membangunkan rumah bagi 100 lebih penduduk di sepanjang Pantai Ampenan akibat gempa bumi tahun 1984 hasil kerjasama HIVOS, dinilai bemuatan politis. Tidak hanya itu, ada asumsi gerakannya berbau kristen.
Ali tidak peduli. Walau tekanan demi tekanan menghujam, baginya berbuat untuk masyarakat Lombok yang masih miskin lebih utama ketimbang memikirkan berbagai kecurigaan. Ada kekeringan, ada penduduk yang makan bulgur, ada kelaparan. Apakah sumber daya alam sudah punah dan tidak memberi harapan? Tidak!
Bagi Ali, masyarakat Lombok Selatan yang sering dilanda kekeringan hingga membuat mereka berduyun-duyun mengungsi tidak boleh menjadi “pawai petaka” tahunan. Jika pemerintah tidak sanggup mengatasi problem rakyat maka dialah yang berjuang mengatasinya. Peran kemanusiaan itu terus melebar hingga membangunkan jalan, saluran irigasi, bantuan makanan, obat-obatan, dan lain-lain. Bahkan ada sebuah jembatan di Desa Langko yang diberi nama Jembatan Ali BD. Masyarakat setempat tidak pernah lupa kepadanya.
Ali BD kemudian menerima penghargaan dari lembaga PBB atas jasanya di bidang kemanusiaan, namun medali itu tidak dipajang di tembok sebagai kebanggaan, melainkan cukup menghuni rak bukunya saja. Penghargaan itu wajar, akan tetapi Ali BD merasa belum cukup memiliki andil menciptakan perubahan yang lebih baik.
Tahun 1998, Ali BD memberikan pencerahan politik ketika dicalonkan sebagai Bupati Lombok Timur oleh para politisi yang rajin menyambanginya. Kala itu tradisi calon kepala daerah dari birokrat danTNI masih kuat.
Ada alasan fundamental untuk tampil dalam ranah politik, yaitu mengubah keadaan masyarakat yang dirongrong kemiskinan. Dia tidak bisa berbuat banyak jika hanya menerabas ranah pinggiran sehingga perlu masuk ke sebuah sistem pemerintahan yang bisa mengatur keadaan dan membawanya pada perubahan yang lebih baik. Tuhan belum merestui. Ali kalah. Di Kota Mataram mencoba tahun 1999 juga kalah.
Cita-citanya itu terwujud tahun 2003 saat berpasangan dengan Rahmat Suhardi dari Fraksi TNI. Sebuah fenomena baru pemerintahan mulai dibangun. Namun, kehadirannya tidak serta merta diterima politisi bahkan birokrasi — tidak sebagaimana di lembaga swadaya masyarakat. Praktik yang tidak lurus selalu ada. Sebutlah ada wakil rakyat yang minta proyek. Bagi Ali ini iklim tak biasa. Berbeda dengan politisi itu. Bagaimana cara Ali mengatasinya? Ali tidak menyembunyikan perasaan. Blak-blakan saja ia mengatakan, ”Anda wakil rakyat, bukan pemborong, ya!”
Kata-kata itu memercikkan sebuah permusuhan tersendiri. Tidak sedikit politisi yang akhirnya mencari-cari kesalahan. Sebutlah fitnah melakukan korupsi. Aksi demonstrasi bahkan terkait dengan Perda yang dibuat oleh DPRD sendiri, yakni Perda Pengelolaan Zakat tahun 2002, berlangsung dengan cukup bernafsu. Malahan aksi “spiritual politik” dilakukan dengan membaca surah yassin di halaman kantor bupati. Mereka ingin mendongkel Ali, walau kala itu berbagai pembangunan dijalankan dengan begitu pesat seperti Dam Pandan Dure, Bazda Lotim, Selaparang Finansial, Selaparang Agro, Selaparag TV, sejumlah pasar tradisional, ribuan kilometer jalan dan jembatan hingga Labuhan Haji.
Ali memahami jabatan itu hanya sementara serupa kembang yang kuncup lalu mekar dan layu dan ia tidak takut kehilangannya. Pada Pilkada 2008, perlawanan menguat dan Ali dikalahkan. Di sisi lain rakyat kecil menangis merasa kehilangan. Sebagai pelampiasan rindu mereka selalu mengundang Ali jika merayakan sesuatu seperti pekawinan, khitanan anak, dan lain-lain. Mereka masih menyebutnya bupati! Entah mengapa?
Kebijakan prorakyat pada masanya telah melahirkan kerinduan yang begitu dalam agar masa itu terulang kembali. Hingga menjelang Pilkada Lotim tahun 2013, Ali BD disebut-sebut lagi. Rakyat menginginkannya kembali. Rakyat memintanya lewat jalur independen.
Gelombang dukungan bermunculan begitu pesat. Puluhan lagu untuknya diciptakan secara sukarela sebagai suara hati. Rakyat mulai berani pasang badan. Saat pilkada berlangsung mereka melakukan pengawalan di tiap TPS dengan begitu ketat. Benar, Ali BD yang berpasangan dengan Haerul Warisin akhirnya menang. Alkhaer pun melanjutkan cita-citanya terdahulu dengan visi misi yang sama.
Pembangunan-pembangunan yang sangat bersejarah pada masa pemerintahan Ali BD menjadi monumen tersendiri bagi rakyat. Bagaimana mungkin rakyat Lotim khususnya melupakan berbagai bangunan yang bagi mereka sangat bermanfaat. Kemampuan mengelola anggaran untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi di kabupaten dengan penduduk terpadat itu menjadi parameter rakyat mengusungnya kembali ke jenjang yang lebih tinggi.
Pilgub NTB 2018 menjadi muara baru agar perannya untuk rakyat lebih luas. Jalurnya kembali lewat perseorangan dengan harapan keberpihakan kepada rakyat tidak pudar.
Dan, tidak sulit meraih dukungan 300-an ribu KTP mengingat sentuhan-sentuhan positif yang sudah dilakukan tidak sebatas wilayah Kabupaten Lotim, melainkan seluruh NTB bahkan bantuannya sampai Singaraja, Bali. Praktik penjegalan yang tidak cantik oleh pihak lain dihadapi dengan lapang dada. Ali BD seakan tanpa beban. Para tokoh masyarakat dan sebagian besar tuan guru berada di barisannya.
Keberanian dan kerja keras Ali BD menjadi fenomena baru bagi suku bangsa Sasak khususnya. Dibalik kesan orang Sasak yang ileq-ileq kelewa (malu-malu tapi mau) – istilah budayawan Jalaluddin Arzaki (alm) — Ali justru hadir membawa pembaharuan. Tidak sedikit logat dan langgam bahasa khas Ali BD mewarnai setiap pembicaraan di Lombok Timur. “Anda harus disiplin, ya? Anda cerdas, ya? Anda bodoh, ya…”
Selalu ada kesan yang menempel ketika Ali menginjak di suatu tempat, berdialog dengan masyarakat — dan melupakannya perlu waktu lama. Ia serupa energi yang berhimpun dan cukup dipahami dengan sekilas pandang.
Setidaknya, energi itu merupakan buah praktik perbuatan. Ali sudah lama membuktikannya lewat kemampuan mandiri seperti mendirikan BPR yang kantor cabangnya hampir menyeluruh di NTB, mendirikan Universitas Gunung Rinjani dan bidang usaha lain.
Apa yang sudah diperbuat Ali BD, bagi sebagian warga, sudah cukup bisa membuat Ali BD duduk manis dan tidak perlu menjadi gubernur karena sudah kaya raya. Itulah fikiran primitif bagi yang mengidolakan harta sebagai tujuan sehingga harus diperbarui lewat berbagai edukasi politik. Dalam Islam hidup yang benar adalah bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain. Pemimpin harus banyak berkorban fikiran, tenaga dan biaya. Tidak menjarah harta negara.
Apakah masyarakat NTB benar-benar menginginkanya menjadi pemimpin?
Semula kalangan pendukungnya sangsi langkah itu bisa dilakukan lewat jalur independen. Bahkan dengan berbagai argumen mereka meminta lewat partai agar Ali BD tetap nyaman. Nyatanya dukungan KTP itu bisa dipenuhi. Alasan yang mendasar terjadinya gelombang dukungan adalah pembangunan-pembangunan di Lombok Timur sulit dilupakan dan menjadi kenangan sepanjang masa. Bantuan bagi warga di daerah lain pun tidak cukup dikenang sehingga dukungan pun mengalir.
Tidak mudah melepas Ali BD dari rakyat karena dia sendiri adalah rakyat; kebiasaannya, tindak tanduknya. Dia bergelar doktor tetapi lebih senang disebut amaq. Dia bupati tetapi meja kursinya kelas eselon IV. Dia bisa membeli semua yang terbaru tapi tidak melakukannya. Alasannya, seorang pemimpin itu harus bisa mengenakan sesuatu yang biasa dipakai rakyat.
Rakyat merindukan itu semua sebagai kelakuan unik sekaligus fenomena bahwa masyarakat Sasak sedang dalam perubahan. Bentuk kerinduan pada tindakan-tindakan Ali BD ini nyaris serupa dengan gelombang kerinduan masyarakat terdahulu ketika mereka memintanya kembali memimpin Lotim.
Dalam masa kampanyenya Ali tidak banyak berjanji, melainkan menyerap aspirasi dan menuangkan gagasan-gagasan besar kepada rakyat. Fikiran dan tindakannya bersifat prinsip dan edukatif. Rakyat pun menyukai dan menjadikan pembelajaran. (riyanto rabbah)